Narasi mengenai selamatnya Nabi Ibrahim ketika dibakar oleh kaumnya sendiri merupakan salah satu narasi mukjizat yang tertulis secara eksplisit di dalam Al-Qur’an. Narasi ini tertulis dalam Q.S. Al-Anbiya: 68-69 yang menceritakan bagaimana respon masyarakat ketika Nabi Ibrahim melarang ritual penyembahan berhala.

قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانصُرُوآ ءَالِهَتَكُمْ إِن كُنتُمْ فَٰعِلِينَ ٦٨ قُلْنَا يَـٰنَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَـٰمًا عَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ ٦٩

Mereka berkata, “Bakarlah dia (Ibrahim) dan tolonglah tuhan-tuhanmu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” Kami berfirman, “Wahai api, jadilah kamu dingin dan keselamatan bagi Ibrahim!” (Q.S. Al-Anbiya: 68-69).

Bagi umat Islam, narasi ini merupakan sebuah mukjizat, yaitu demonstrasi mengenai kekuasaan Allah yang diberikan sebagai perlindungan atau simbol kemuliaan kepada seorang nabi atau rasul. Narasi mengenai Nabi Ibrahim ini sering kali dihubungkan tentang bagaimana kekuatan iman dapat menundukkan kekuatan alam. Akan tetapi, dalam pandangan hermeneutika modern, narasi tersebut memunculkan beberapa pertanyaan baru: Apakah narasi ini hanya dapat dipahami secara tekstual? Apakah terdapat pesan spiritual atau pesan eksistensial yang dapat mengilhami manusia modern?

Di sinilah pendekatan Rudolf Bultmann mengenai demitologisasi memberikan inspirasi yang cukup menarik di dalam dunia teks. Meskipun pendekatan ini dikontruksi dalam tradisi Kekristenan yang pada mulanya berfungsi untuk menginterpretasi simbol-simbol supranatural di dalam Perjanjian Baru. Namun, pendekatan Bultmann secara tidak langsung dapat mengilhami penafsiran kontekstual pada ayat-ayat Al-Qur’an, yakni dengan membaca kembali kisah-kisah mukjizat dalam Al-Qur’an dan mengupayakan penggalian atas makna-makna esoterisnya. Pendekatan ini bukan untuk menodai keyakinan, tetapi untuk menyempurnakan dimensi pemahaman yang lebih dapat diterima secara manusiawi.

Sekilas Demitologisasi Bultmann

Bultmann mengatakan bahwa kitab suci yang ada saat ini di tulis menggunakan kerangka mitologis zaman kuno, yang penyampaiannya menekankan pada beberapa keajaiban supranatural sebagai realitas sehari-hari. Pada era kontemporer yang pragmatis, manusia tidak lagi memandang realitas menggunakan kerangka zaman kuno tersebut. Oleh karenanya, apabila ayat-ayat yang bernuansa mitologis tetap ingin diterima manusia saat ini, maka simbol-simbol mitologis tetap perlu adanya upaya demitologisasi, yakni penguraian untuk mendapati pesan spiritual dan eksistensial pada sebuah narasi mitologi.

Dalam pendekatannya, Bultmann tidak anti kepada kepercayaan dengan menghilangkan unsur adikodrati yang berasal dari Tuhan. Pendekatan Bultmann hanya berupaya untuk mengungkap makna esoteris pada narasi mitologi, supaya dapat dipahami dalam konteks masa kini. Bagi Bultmann, mukjizat bukan hanya fenomena yang harus diyakini kebenarannya secara irasional saja, melainkan harus diyakini melalui gambaran simbolik dari pengalaman eksistensial yang bersifat universal. Sehingga teks bukan hanya sekadar dogma, akan tetapi teks juga dapat menjadi sebuah dialog antara Tuhan dan manusia; wahyu masa lalu dengan manusia masa sekarang.

Berbicara dalam konteks Islam, pendekatan demitologi Bultmann tersebut hendaknya perlu diimplementasikan dengan kehati-hatian teologis. Umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan suatu hal yang otentik dan sakral. Sehingga pendekatan demitologisasi bukan dijadikan sebagai pendekatan utama dalam menyingkap makna spiritual dan eksistensial Al-Qur’an. Pendekatan ini hanya digunakan untuk mendampingi proses interpretasi dengan memperkaya khazanah interpretasi dengan harapan dapat menjadikan Al-Qur’an sebagai Ṣaḥīḥ li-kulli zamān wa makān.

Pembacaan Eksistensial Universal

Membaca ulang Q.S. Al-Anbiya’ ayat 68-68 dengan pemahaman secara literal, maka ini adalah sebuah fenomena supranatural yang melibatkan Allah secara langsung ke dalam hukum alam. Namun jika dilihat secara simbolik, ayat tersebut mempunyai kedalaman makna yang dapat diambil sebagai pesan eksistensialnya, seperti: perlawanan antara individu dengan kelompok; antara kepercayaan minoritas dan ideologi yang dominan di masyarakat.

Pesan eksistensial yang dapat dibaca pada narasi tersebut adalah bahwa Nabi Ibrahim muncul sebagai individu yang menolak patuh terhadap nilai dan norma masyarakat yang salah. Nabi Ibrahim menolak segala ritual yang melibatkan berhala sebagai objek pemujaannya, serta siap menerima segala konsekuensi dari masyarakat tanpa keraguan sedikit pun. Hal tersebut merupakan bentuk dari keberanian: menjadi otentik dan bertanggung jawab, meski mendapatkan ancaman kematian. Namun, hal ini menjadi bukti bahwa Ibrahim adalah sesosok nabi dengan karakteristik kenabian pada umumnya, yakni otentik dengan tidak terpengaruh pada kondisi sosial politik di mana ia tinggal. Karena misi seorang nabi adalah mengubah nilai dan norma masyarakat yang keliru.

Narasi api yang menjadi dingin bukan hanya dipahami sebagai elemen fisik. Tetapi dapat dipahami sebagai lambang tekanan dan ancaman sosial yang mana pesan eksistensialnya ialah dalam keimanan, ujian seberat apa pun dapat menjadi jalan keselamatan. Pesan ini mengafirmasi bahwa iman tidak menghindarkan dari penderitaan, melainkan menyelamatkan di dalam penderitaan.

**

Pada era kontemporer, narasi tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk kritik atas sistem sosial yang menuntut setiap individu patuh terhadap nilai dan norma yang keliru. Narasi tersebut juga mengajarkan bahwa kebenaran dan pertolongan bukan hanya datang dari mayoritas. Melainkan juga dari diri sendiri, melalui keimanan akan kehadiran Allah sebagai sumber kebenaran dan pertolongan. Nabi Ibrahim selamat dari peristiwa tersebut bukan sebagai korban, namun sebagai suri tauladan baik secara eksistensi maupun esensinya.

Narasi ini memberikan kepada kita sebuah oase reflektif. Narasi tersebut mengajarkan kepada kita bahwa menjadi manusia seutuhnya bukan hanya dengan mengikuti arus mayoritas. Karena ukuran mayoritas tidak menjamin akan kebenaran. Menjadi manusia seutuhnya ialah dengan berupaya menegakkan kejujuran serta percaya akan kekuatan dan kehadiran Tuhan di dalam setiap sendi kehidupan kita.

Sekali lagi, melihat kembali narasi Nabi Ibrahim dengan pendekatan demitologisasi bukan bermaksud untuk menolak keyakinan kita atas mukjizat. Dengan pembacaan seperti ini kita dapat menelusuri lapisan makna esoteris bahwa mukjizat bukan hanya sekadar peristiwa irasional belaka. Peristiwa yang diklaim sebagai mukjizat hanya sebagai pemaknaan awal, bukan sebagai pemaknaan akhir. Hal ini memberikan pintu bagi manusia modern untuk senantiasa menyelami makna kitab suci mereka dengan tidak menanggalkan rasional mereka.

Demitologisasi Bultmann ini memperluas cakrawala tafsir, terutama kepada mereka yang hidup pada era yang menuntut untuk selalu mengedepankan rasional. Pendekatan ini selaras dengan tafsir sufistik dan filosofis dalam tradisi Islam. Melihat karya-karya dari Ibnu ‘Arabi, Al-Tusytari dan sebagainya, mengindikasikan bahwa penggalian makna esoteris dalam ayat Al-Qur’an sudah ada sejak tradisi Islam awal. Sehingga pendekatan Bultmann bukan menjadi barang asing di dalam Islam. Pendekatan Bultmann ini bukan hanya bernilai akademis, melainkan juga dapat bernilai spiritual.

Penutup

Pendekatan demitologisasi Bultmann tidak akan menggantikan peranan tafsir tradisional. Ia memperkaya pandangan mengenai pengalaman religius kita. Ia mengajak kita untuk melihat lebih dalam akan makna yang terkandung dalam setiap ayat, bukan sebagai dogma saja, melainkan juga untuk cermin refleksi bagi diri kita, meyakini bahwa Allah selalu membersamai kita walapun dalam keadaan sulit sekalipun. Tafsir eksistensial adalah sebuah ajakan untuk menjadikan wahyu sebagai teman berdialog, bukan hanya monolog: atau bahkan sebagai perantara antara langit dan bumi, antara masa lalu dan masa kini.

**

Oleh: Muhammad Saddam Fachri Ridlo

Tulisan ini dipersembahkan untuk: Harmonie-A