Di dalam lanskap Islam, Arab Saudi memiliki posisi yang sangat sentral. Selain memiliki dua kota suci, Mekah dan Madinah, negara ini dikenal dengan episentrum dari pemahaman keagamaan Wahabisme. Dari sebagian kalangan Muslim menganggap bahwa Arab Saudi diklaim sebagai pemilik ajaran Islam ortodoks dan agen pemurnian ajaran ketauhidan. Namun, di sisi lain menganggapnya sebagai aktor hegemonik yang memaksakan interpretasi tunggal atas ajaran agama Islam.
Perihal “Memuja Arab Saudi” merefleksikan lebih dari sekadar pemujaan atau penghormatan spiritual. Perihal tersebut memiliki aspek ideologi yang sering kali menjadikan keberagamaan di Arab Saudi sebagai sebuah tolok ukur kebenaran tunggal dalam beragama. Kaitannya dengan globalisasi dan kontestasi ideologi keagamaan, pandangan ini secara langsung mengafirmasi posisi Wahabisme sebagai rujukan primer beberapa komunitas Muslim dunia, meskipun hal tersebut menggerus ekspresi keislaman lokal yang plural dan kontekstual.
Artikel ini memuat mengenai asal-usul Wahabisme, relasi kekuasaan, ekspansi global, kritik ideologi, serta prakiraan masa depan terhadap paham Wahabisme di tengah gejolak transformasi sosial-politik di Arab Saudi.
Sejarah
Wahabisme dan Kemunculan Negara Arab Saudi
Wahabisme adalah akar dari pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792). Ia dikenal sebagai seorang ulama dari
daerah Najd yang terpengaruh oleh karya-karya Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim
Al-Jawziyyah. Ia dengan tegas melakukan penolakan terhadap praktik-praktik yang
dianggap sebagai kesyirikan, seperti dalam karyanya Kitab At-Tauhid yang
melarang tawasul, ziarah kubur, dan penghormatan terhadap wali. Kitab tersebut
menegaskan bahwa kemurnian tauhid ialah intisari dari ajaran Islam, dan
melakukan hal yang tidak mencerminkan pemurnian tauhid dianggap sebagai ancaman
yang serius.
Sekitar tahun 1740-an, Muhammad bin
Abdul Wahhab menjalin kolaborasi strategis dengan Muhammad bin Saud, yakni
pemimpin Diriyah. Kolaborasi tersebut menciptakan fondasi awal dari entitas
politik-religius Wahabisme yang mengekspansi secara militer di seluruh Jazirah
Arab. Alasan penyebaran tauhid menjadi pembenaran atas ekspansi kekuasaan Saud.
Ekspansi tersebut sering kali mendapat pukulan mundur dari Kekhalifahan Utsmaniyyah sekitar awal abad ke-19. Namun, kekuatan ekspansi ini kembali bangkit di bawah kekuasaan Abdulaziz bin Saud, yang dikenal sebagai pendiri Kerajaan Arab Saudi. Sejak saat itu Wahabisme secara formal menjadi ideologi negara, sehingga paham tersebut dijadikan doktrin utama dalam pendidikan, hukum, dan sosial.
Wahabisme
Sebagai Ideologi Negara Arab Saudi
Sejak awal berdirinya negara Arab
Saudi, ideologi Wahabisme telah menjadi kekuatn yang dominan. Ideologi tersebut
bukan hanya berjalan sebagai doktrin keagamaan, akan tetapi sebagai instrumen
atas legitimasi politik Arab Saudi. Lembaga resmi negara Arab Saudi seperti Kabairul
Ulama’ As-Saudiyyah dan Lajnah Daimah diberi kewenangan penuh atas
penentuan fatwa, hukum, serta norma sosial. Di sini ulama dan pemerintah
bersatu dan bekerja dalam simbiosis: kerajaan memberikan jaminan kekuasan politik
atas ideologi Wahabisme, sedangkan ulama memberikan legitimasi religius atas
pemerintahan.
Praktik hukum di Arab Saudi
rata-rata didominasi oleh “mazhab Hanbali versi Wahabi,” dan tidak memberikan
ruang atas keragamaan interpretasi Islam. Segala aspek dikendalikan supaya
sesuai dengan paham Wahabisme, seperti kendali penuh terhadap pendidikan, dan
juga media di Arab Saudi. Hal tersebut menciptakan marginalisasi atas
praktik-praktik keislaman yang dianggap tidak sejalan dengan paham Wahabisme,
sebagaimana tasawuf, Maulid Nabi, serta interpretasi yang rasional atas Islam.
Selain itu, dominasi Wahabisme juga memunculkan resistensi domestik. Sebagian penolakan terjadi dikalangan intelektual Saudi yang menuntut upaya pembaruan pemikiran Islam dengan tidak memaksakan interpretasi tunggal. Beberapa dari mereka dibungkam atau bahkan dihukum karena dianggap sebagai ancaman atas ideologi keberagamaan di Arab Saudi. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Wahabisme mampu menguatkan negara dengan cara menyempitkan ruang-ruang demokratis di kalangan Muslim Saudi sendiri.
Ekspansi
Global: Dari Dakwah ke Hegemoni
Pasca krisis minyak yang melanda
Arab Saudi pada tahun 1973, Arab Saudi mengalami lonjakan pendapatan yang
besar. Lonjakan ini menciptakan kekayaan yang digunakan untuk menyebarkan paham
Wahabisme secara global melalui pemberian dana untuk proyek-proyek dakwah
internasional, yang mencakup proyek pembangunan masjid, penerbitan dan
penerjemahan kitab, beasiswa studi di Madinah serta distribusi ulama yang telah
didoktrin dalam kerangka paham Wahabisme.
Arab Saudi memainkan peran sentral
dalam menciptakan wajah Islam secara global melalui Liga Muslim Dunia (World
Muslim League) sampai tahun 2.000-an. Pendanaan yang bernilai hingga jutaan
dolar telah digunakan untuk transmisi ajaran Wahabisme di Asia, Afrika, dan
Eropa. Hal tersebut mengakibatkan negara yang memiliki tradisi keislaman yang
moderat perlahan bergeser pada arah konservatisme agama yang lebih rigid.
Ekspansi ajaran Wahabisme yang dilakukan oleh Arab Saudi ini tidak lepas dari kritik. Banyak yang memandangnya sebagai soft power yang berusaha menyamakan Islam secara global untuk kepentingan politik kerajaan Saudi. Pada faktanya, Wahabisme memiliki pengaruh yang memicu ketegangan sosial dan sektarianisme pada tingkat domestik, utamanya terhadap kelompok Sufi dan Syiah. Fenomena “Arabisasi Islam” telah menjadi permasalahan serius bagi ulama tradisional yang masih mempertahankan identitas Islam lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai masyarakat setempat.
Kritik
dan Kontroversi
Arab Saudi secara resmi menolak
keterkaitan paham Wahabisme dengan Al-Qaeda dan ISIS, meski begitu, banyak
kajian yang menginformasikan bahwa beberapa aspek dalam Wahabi, seperti
takfiri, telah menginspirasi ideologi jihadis modern. Tentunya ini mengafirmasi
hipotesis bahwa Wahabisme menjustifikasi keagamaan bagi kekerasan atas nama kemurnian
aqidah.
Bukan hanya itu, paham Wahabisme
juga mendapatkan kritik dikarenakan perilaku penolakan atas pluralitas madzhab
serta menghilangkan dimensi khazanah Islam. Beberapa tradisi Islam seperti
kalam, filsafat, dan tasawuf dianggap sebagai tradisi yang bersebrangan dengan
Islam. Di dalam beberapa konteks, hal ini menciptakan polarisasi internal bagi
umat Islam. Di Indonesia, Wahabisme sering berbenturan dengan beberapa tradisi
Islam Nusantara yang mengintegrasikan fikih, tasawuf, dan budaya lokal secara
seimbang.
Secara global, paham Wahabisme juga dianggap gagal dalam menyikapi tantangan zaman. Permasalahan seperti demokrasi,kesetaraan gender, hak minoritas, serta kebebasan berpikir tidak mendapatkan tempat dalam kerangka Wahabisme. Hal ini tentunya membuat cendekiawan Muslim meragukan relevansi Wahabisme di era kontemporer, serta menuntut pencarian alternatif atas interpretasi Islam yang lebih dialogis dan intelektual.
Transformasi
dan Masa Depan Wahabisme
Arab
Saudi telah memasuki era reformasi yang cukup dramatis dengan ditandai oleh
naiknya Mohammed bin Salman. Dengan adanya proyek Vision 2030, kerajaan
Arab Saudi berupaya melakukan modernisasi sosial dan ekonomi, termasuk
pembukaan bioskop, mengizinkan berkendara bagi perempuan, dan juga membatasi
gerak otoritas polisi syariah. Reformasi ini dipandang sebagai devitalisasi
peran kelembagaan Arab Saudi yang konservatif.
Tentunya reformasi ini memunculkan
pertanyaan besar tentang nasib Wahabisme sebagai ideologi negara Arab Saudi.
Apakah reformasi ini merupakan upaya penghapusan ideologi Wahabisme atas negara
Arab Saudi, atau hanya sebuah taktik politik untuk mengatasi tekanan dunia
internasional? Beberapa cendekiawan dan pengamat memberikan julukan era ini
sebagai “post-Wahhabism,” yakni suatu upaya untuk memformulasikan identitas
Islam yang fleksibel dengan moderinitas, tanpa adanya penghapusan warisan
Wahabi secara penuh.
Sebagian besar pengamat menyatakan bahwa reformasi ini hanya bersifat riasan. Selama kerajaan Arab Saudi masih menjalin kolaborasi dengan ulama dengan tidak membuka ruang untuk berdialog kepada publik, maka belum dapat dikatakan sebagai perubahan ideologi. Wahabisme dimasa depan, akan ditentukan sejauh mana Arab Saudi menyeimbangkan warisan konservatif dengan tekanan modernisasi.
Kesimpulan
Wahabisme tidak hanya sebuah paham
keagamaan, akan tetapi sebuah instrumen kekuasaan yang membentuk wajah Islam
secara global selama dua abad. Wahabisme telah memengaruhi tata pikiran dan
ibadah beberapa komunitas Muslim di seluruh dunia. Di era saat ini yang semakin
plural, terbuka, dan kompleks, paham Wahabisme tentunya menghadapi tantangan
yang besar dalam mempertahankan eksistensi dan esensinya.
Dalam konteks tersebut, memuja Arab
Saudi secara ideologis memunculkan pertanyaan kritis: apakah umat Islam perlu
mempertahankan paham Wahabisme sebagai rujukan satu-satunya, atau akankah umat
Islam membuka diri pada keragaman interpretasi dan praktik Islam lainnya? Masa
depan Islam jangan hanya bersandar pada satu suara. Kekayaan Islam justru ada
pada kemampuannya untuk bertumbuh di dalam berbagai konteks, meliputi tempat,
dan waktu. Wallahu a’lam bi-showab.
**
Oleh: Muhammad Saddam Fachri Ridlo