
Perdebatan antara sains dengan agama merupakan sebuah wacana klasik yang telah mewarnai sejarah intelektual peradaban manusia selama berabad-abad lamanya. Perdebatan antara keduanya seringkali disebabkan oleh perbedaan dalam memandang realitas yang ada. Di salah satu sisi, sains menggunakan metode ilmiah yang berbasis observasi, empriris, sistematis, dan rasional. Sains memandang realitas secara objetif dan terukur dengan menghindari segala hal yang dianggap perkiraan atau dogmatis. Oleh karenanya, sains dianggap sebagai sebuah pengetahuan yang tidak terikat pada suatu nilai, termasuk nilai-nilai agama.
Di sisi lain, hadirnya agama membawa sebuah pendekatan yang berbeda. Dalam pandangan agama, pengetahuan tidak hanya diperoleh dari penalaran dan pengalaman manusia semata, melainkan pengetahuan berdasar terhadap apa yang disampaikan oleh tuhan kepada para nabi. Oleh karenanya, pemeluk agama yang yakin bahwa wahyu ilahi merupakan kebenaran yang mutlak, sekalipun dalam menghadapi kemajuan zaman yang begitu pesat.
Namun, tidak selalu antara sains dan agama dipandang sebagai dua hal yang saling bertolak belakang. Sejumlah ilmuan dan teolog mencoba menghubungkan antara keduanya dengan memadukan pengetahuan empiris dan nilai-nilai agama dengan didasari bahwa keduanya memiliki kontribusi penting dalam memandang hakikat dan eksistensi kehidupan. Sehingga menciptakan sebuah pandangan baru yang holistik dan integratif.
Salah satu tokoh yang cukup berperan aktif dalam upaya rekonsiliasi antara sains dan agama ialah Keith L. Moore. Moore adalah seorang pakar anatomi dan embriologi terkenal dari Kanada yang memberikan kontribusi di bidang medis, diantaranya melalui karyanya yang berjudul The Developing Human: Clinically Oriented Embriology. Karya ini telah menjadi rujukan utama dalam studi embriologi di beberapa institusi pendidikan kedokteran di seluruh dunia.
Yang menjadi fokus tulisan ini ialah dalam salah satu edisi khusus dari karya Moore tersebut menyertakan beberapa tambahan yang mana ayat Al-Qur’an yang membahas tentang penciptaan manusia menjadi rujukan awalnya. Edisi tersebut dinamai Clinically Oriented Embryology with Islamci Additions, yang menjadi pionir integrasi antara embriologi modern dengan ayat-ayat keagamaan Islam. Melalui pandangan tersebut, Moore menjelaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an mengenai penciptaan manusia memiliki hubungan dengan temuan ilmiah modern, bahkan Moore secara apologetik mengatakan dalam beberapa hal yang ada dalam Al-Qur’an telah mendahului sains kontemporer.
Biografi
Keith Leon Moore lahir pada 5 Oktober 1925 di Kanada. Ia merupakan profesor anatomi dan biologi sel di Fakultas Kedokteran Universitas Toronto. Karya utamanya, The Developing Human, telah menjadi salah satu buku teks paling banyak digunakan dalam bidang embriologi klinis dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Keahlian Moore dalam bidang embriologi menjadikannya rujukan penting, bukan hanya di dunia Barat, tetapi juga di dunia Islam.
Hubungan Moore dengan dunia Islam dimulai ketika ia diundang oleh sejumlah ilmuwan Muslim untuk menelaah kesesuaian antara ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang penciptaan manusia dengan pengetahuan embriologi modern. Ketertarikan ilmiah Moore terhadap hal ini bukan hanya sebagai bentuk toleransi budaya, melainkan juga sebagai bagian dari pendekatan ilmiah yang objektif terhadap sumber pengetahuan alternatif.
Gambaran Umum Karya
Buku Clinically Oriented Embriology with Islamic Additions adalah edisi yang khusus menjelaskan secara detail tentang proses embrio manusia yang berdasarkan ilmu pengetahuan kontemporer dalam bidang embriologi. Yang membedakan edisi ini dengan karya embriologi lainnya adalah terdapat relevansi antara sains dan agama, dibeberapa pembahasan terdapat teks-teks Al-Qur’an yang diklaim oleh Moore relevan dengan embriologi. Moore bukan hanya mengutip teks Al-Qur’an tersebut secara simbolik, melainkan juga menyandingkannya secara penuh dengan temuan ilmiah mutahir untuk mengetahui sejauh mana keduanya memiliki korelasi.
Salah satu teks Al-Qur’an yang sering dijadikan referensi dalam pembahasan mengenai hubungan sains dengan agama oleh Moore dalam karyanya adalah Q.S. Al-Mu’minun: 12-14. Ayat ini secara implisit menjelaskan secara sistematis tahapan dari proses penciptaan manusia, yakni dari tahap nuthfah (air mani), kemudian menjadi ‘alaqah (sesuatu yang menempel), sehingga berubah menjadi mudhghah (segumpal daging). Moore memberikan nilai bahwa apa yang telah disebutkan oleh Al-Qur’an tersebut mencerminkan keakuratan yang luar biasa apabila disandingkan dengan pemahaman embriologi modern. Lebih lanjut, Moore menegaskan bahwa pengetahuan seperti itu tidaklah mungkin berasal dari manusia abad ke-7 M, yaitu semasa Nabi Saw. menerima wahyu. Menurutnya hal ini menciptakan sebuah pertanyaan menarik mengenai informasi yang berasal dari Al-Qur’an yang oleh Moore dikatakan memiliki pandangan ilmiah tersendiri.
Dalam karya ini, penambahan elemen Islam bukan hanya sebagai bentuk penghormatan atas nilai-nilai keagamaan atau sebagai upaya menarik perhatian pembaca dikalangan umat Muslim. Namun, penambahan elemen Islam merupakan bagian dari upaya Moore dalam membuktikan wahyu ilahi dapat menjadi sumber pengetahuan yang layak dikaji dalam ranah ilmiah. Moore dalam pernyataannya, mengungkapkan keterbukaannya terhadap kemungkinan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dapat berisi informasi yang terlampau batas pengetahuan manusia kala itu. Oleh karenanya, karya ini bukan hanya sekadar menawarkan sebuah wawasan baru dalam kajian embriologi, namun juga memberikan kesempatan untuk berdialog secara produktif antara sains dan agama, terlebih lagi dalam usaha memberikan pemahaman mengenai asal-usul dan proses penciptaan manusia dari sudut pandang multidisipliner.
EPISTEMOLOGI
Landasan Epistemologi
Keith L. Moore mengatakan bahwa fondasi dari ilmu pengetahuan modern terdapat pada proses observasi, empiris, serta rasional. Moore mengakui bahwa ketiga hal tersebut digunakan untuk memvalidasi ilmu pengetahuan modern yang mengedepankan objektifitas. Namun, Moore mencoba membuka ruang-ruang bagi sumber non-empiris yakni wahyu ilahi untuk dimungkinkan bahwa disituasi tertentu dapat memberikan informasi awal yang akan menjadi inspirasi untuk dipertimbangkan dalam kerangka ilmiah. Dalam pandangan Moore, wahyu bukan hanya sumber pengetahuan yang secara mentah diterima sebagai kebenaran ilmiah, melainkan wahyu menurutnya digunakan untuk hipotesis yang dapat diuji melalui metode ilmiah yang tepat.
Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa Moore tidak mengadopsi epistemologi yang ekslusif terhadap perihal metafisis. Namun, Moore menerapkan epistemolgi inklusif yang mengakui bahwa sebuah kebenaran ilmiah bukan hanya diperoleh berdasarkan sumber pengalaman empiris semata. Suatu hipotesis, termasuk diantaranya berasal dari wahyu ilahi, selama dapat dibawa ke dalam ranah proses pengujian ilmiah, maka tetap layak dipertimbangkan dalam kerangka keilmuan. Moore dalam konteks ini tidak memandang wahyu sebagai hal yang antisains, akan tetapi sebagai pedoman awal dari epistemologis lebih luas yang dapat menstimulasi penelitian. Oleh karenanya, pendekatan Moore merefleksikan bentuk integrasi antara religiusitas dan rasionalitas yang saling melengkapi.
Pendekatan Komparatif
Moore dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an pada karyanya tidak serta merta menafsirkannya secara sembarangan. Sebagai seorang ilmuan yang menjunjung tinggi integritas akademik, Moore menggunakan pendekatan interdisispilner yang mengikut sertakan mufassirin serta sarjana muslim yang berkompeten. Kolaborasi ini dapat membantu Moore dalam menginterpretasi linguistik yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an. Sebagaiman Moore menjelaskan keterkaitan nutfah (setetes mani), ‘alaqah (sesuatu yang mnempel), dan mudhghah (segumpal daging). Metode yang digunakan Moore menghasilkan bukan hanya interpretasi yang spekulatif, melaikan sebuah perbandingan yang sistematis dan terukur anata wahyu dan temuan ilmiah emriologi modern. Analisis yang dilakukan oleh Moore mengandalkan kehati-hatian metodologis, sehingga bukan hanya dapat diprtanggungjwabkan secara akademis, namun juga menunjukkan inklusifitas atas wacana keilmuan multidisipliner.
Dalam karyanya, Moore secara eksplisit mengklaim secara apologetik bahwa tidaklah mungkin infomasi yang terdapat dalam Al-Qur’an berasal dari manusia abad ke-7. Pernyataan ini tidak serta merta mengarah pada keimanan Moore. Moore tetap menjaga integritas akademiknya sebagai seorang ilmuan dengan menunjukkan bahwa fenomena ini justru menimbulkan pertanyaan yang layak dipertimbangkan oleh ilmuan modern. Dengan demikian, pendekatan Mooore tidak sebagai afirmasi dogmatis, tetapi merupakan suatu bentuk refleksi untuk membuka ruang pengetahuan modern dengan teks keagamaan klasik, khususnya Al-Qur’an.
Validasi Kebenaran
Salah satu bagian paling penting dari epistemologi yang digunakan oleh Moore ialah pendekatannya yang mengupayakan verifikasi kebenaran wahyu dengan menggunakan temuan ilmiah modern. Bagi Moore wahyu tidak semestinya diterima secara dogmatis tanpa kritik. Wahyu bukan hal yang harus dipercaya dengan membutakan perihal ilmiah, melainkan wahu dapat disandingkan untuk dikaji melalui metode ilmiah yang objektif. Dalam hal ini, validasi atas klaim wahyu dilakukan dengan pendekatan yang berbasis pada observasi, empirs dan rasional.
Bagi Moore apabila terdapat kesesuaian anatara wahyu dengan data ilmiah yang teruji, maka hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu afirmasi timbal balik terhadap wahyu maupun data ilmiahnya. Oleh karenanya sains memberikan fondasi empiris bagi wahyu, sedangkan wahyu memberikan arah makna bagi sains. Akan tetapi, apabila tidak ditemukan kesesuaian antara interpretasi wahyu dengan data ilmiah, Moore tidak serta merta menegasi wahyu tersebut. Namun, Moore lebih memilih untuk meninjau kembali metode interpretasi atas ayat tersebut, karena menurut Moore, terdapat kemungkinan kesalahan bukan terletak pada ayat tersebut, bisa saja kesalahan terdapat penafsiran manusia yang terbatas dan terikat konteks historisnya.
Pendekatan yang digunakan oleh Moore memosisikan wahyu dan sains dalam hubungan yang setara. Moore tidak memosisikan wahyu sebagai suatu hal yang superior. Pendekatan Moore terbilang cukup unik dan kritis, terumata jika dibandingkan dengan sebagian ilmuan Musli yang biasanya cenderung apologetik atas pemikirannya dengan membela kebenaran wahyu tanpa adanya kritik ilmiah ataupun sebaliknya, menganggap sains lebih superior sehingga menimbulkan kesan skeptis terhadap wahyu. Pendekatan Moore menawarkan jalan tengah sebagai jembatan atara keimanan dan rasionalitas ilmiah.
Respon Dunia Islam dan Ilmiah
Karya Moore menadapatkan sambutan hangat dari kalangan cendekiawan Muslim. Karya Moore ini dianggap sebagai bukti nyata mengenai ajaran Al-Qur’an yang dapat bersinergi dengan temuan ilmiah modern, khususnya dalam bidang embriologi. Oleh karenanya, bukan sebagai suatu hal yang mengherankan jika karya Moore digunakan di beberapa institusi dan forum kedokteran Islam. Sebagian cendekiawan Muslim terinspirasi dengan apa yang dilakukan Moore, sebagaimana Omar Abdul Rehman, dan Nedhal Guessoum.
Karya Moore ini tidak serta merta disambut dengan baik secara universal. Akademisi barat seperti Myers, Maurice Buchaille, dan Taner Edis yang memegang prinsip objektivitas ilmiah mengatakan bahwa karya Moore dinilai terlalu apologetik. Kritik yang disampaikan tersebut terkesan bahwa Moore berusaha menyelaraskan data ilmiah modern dengan teks keagamaan, yang dimana menurut akademisi barat menanggapknya sebagai suatu usaha yang dapat mengaburkan batas antara keyakinan dan penalaran ilmiah. Sebagian ilmuan skeptis terhadap Moore bahkan menanyakan netralitas Moore, mengingat bahwa Moore bukan hanya menjelaskan embriologi dalam kerangka keilmuan modern, akan tetapi Moore juga menyandingkannya dengan teks Al-Qur’an tanpa memberikan jarak kritis yang memadai.
Telaah Kritis
Pendekatan yang digunakan oleh Keith L. Moore dalam interpretasi dan mengorelasikan teks Al-Qur’an dengan embriologi modern memang dapat disebut sebagai upaya revolusioner. Moore menjadi pioner ilmuan barat yang terbuka mengatakan bahwa sejumlah ayat Al-Qur’an mengandung informasi mengenai pengetahuan ilmiah modern yang baru ditemukan diera sekarang ini. Meski demikian, pendekatan Moore tidak dapat lepas dari telaah kritis, yang mana pendekatan Moore dinilai tergesa-gesa dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an mengandung kebenaran ilmiah tanpa mengkaji secara dalam ayat tersebut dengan metodologi yang diakui oleh mufassir, seperti diantaranya mempertimbangkan konteks historis dan referensi dari teks lain. Pendekatan semacam ini terkesan reduksionis, dikarenakan posisi wahyu seakan-akan dianggap sebagai data ilmiah, padahal wahyu mengandung kompleksitas makna yang tidak selalu dapat dipahami dengan lensa sains modern.
Pendekatan Moore secara epistemologis berada di antara dua kutub, yakni rasionalisme empiris yang menegaskan pentingnya observasi dengan pembuktian ilmiah, serta keyakinan tekstual yang memandang wahyu sebagai otoritas kebenaran. Yang menarik dari pendekatan ini terdapat pada inklusifitas terhadap pluralitas sumber pengetahuan. Nilai-nilai keyakinan menurut Moore tidak perlu ditolak, akan tetapi Moore membuka diri atas metode ilmiah yang objektif. Akan tetapi, epistemologi semacam ini memiliki sebuah kelemahan, salah satunya adalah terjadinya bias konfirmasi (confirmation bias), yaitu kecenderungan yang hanya menyoroti kesesuaian antara wahyu dan data ilmiah dengan mengabaikan beberapa hal yang dimungkinkan saling bertentangan. Hal tersebut dapat menciptakan interpretasi yang bersifat selektif serta tidak kritis, sehingga akan melemahkan uji kebenaran atau validitas pendekatan tersebut.
**
Oleh: Muhammad Saddam Fachri Ridlo
Tulisan ini dipersembahkan untuk: Harmonie-A
Tulisan ini dapat dilihat juga di sini:Tanwir.id